Bapak.
Begitu yang Mama dan Bapak ajarin ke aku untuk nyebut sosok Ayah.
Semua anak-anak tentunya menganggap Ayahnya sebagai sosok paling kuat, tempat untuk berlindung, mengadu, merengek sampai bermanja.
Begitu juga aku ketika masih anak-anak, Bapak itu pokoknya pria yang paling kuat, dia rela berdiam dalam posisi merangkak berperan sebagai mobil rusak yang harus diservice, sementara aku di "kolongnya" berperan sebagai montir yang bertugas memperbaiki mobil yang rusak itu, di kolong aku gak ngapa-ngapain, cuma melintir-lintir puting bapak yang aku imajinasikan seolah montir yang sedang memutar kunci untuk mengencangkan baut, hahaha
Bapak memang bukan orang yang berpendidikan tinggi, tapi kata orang-orang, bapak itu orang baik, punya sopan santun, tidak pernah berjudi, tidak pernah mabuk-mabukan, bahkan kasar secara fisik ke aku aja belum pernah. Bapak juga selalu memberikan kami makanan yang halal, dan kami tahu itu.
Waktu aku kecil, paling seneng kalo diajak bapak pergi, misalnya ke kebayoran lama, biasanya sih kalo ada suku cadang becak, sepeda atau elektronik yang mau dibeli, aku gandeng jari telunjuk bapak, iyaa, waktu itu tanganku masih kecil, ukuran jari telunjuk Bapak aja udah segenggaman penuh tanganku hahaha
Bergandeng tangan sepanjang tepi rel kereta, bagiku adalah momen paling menyenangkan dalam hidup yang akan terus aku kenang, Pak.
Dimana sepanjang jalan aku nanyaaaaa terus tentang apapun itu yang terlintas di pikiran.
Bapak yang kasih tau ke aku siapa Allah, siapa Malaikat, siapa Nabi Muhammad. Bapak kalo jawab gak ngasal kayak Wak Ro', tetangga kita yang juga sangat akrab dengan keluarga kita, masa pas aku tanya siapa yang ciptain Allah, dia jawab "yaa bosnya Allah". Ngakak kalo inget itu.
Bapak yang kasih tau ke aku siapa Allah, siapa Malaikat, siapa Nabi Muhammad. Bapak kalo jawab gak ngasal kayak Wak Ro', tetangga kita yang juga sangat akrab dengan keluarga kita, masa pas aku tanya siapa yang ciptain Allah, dia jawab "yaa bosnya Allah". Ngakak kalo inget itu.
Makasih ya Pak, aku udah dimasukin TPA, aku jadi bisa lebih beriman lagi, lebih tau mana yang baik dan yang benar, jadi bisa baca Al-Qur'an, untuk bekal aku nanti, yang insyaallah juga jadi bekal Bapak sama Mama kelak.
Makasih ya Pak, udah selalu jawab pertanyaan aku, sesepele apapun itu. Kata orang-orang, dulu aku sukanya nanyaaaaa mulu kayak wartawan, sampe Lik Taron, tetangga kita cuma jawab "hmmmmm...." kalo aku tanya karena udah gatau mau jawab apa lagi. ahahahha
Makasih ya Pak udah mau jadi temen debat aku soal tayangan berita di tv, maafin aku yang kadang pulang kerja atau kuliah langsung masuk kamar, gak nemenin Mama sama Bapak untuk sekedar jadi temen nonton tv. Aku nyesel banget udah buang waktu yang harusnya bisa diluangin untuk kalian.
Makasih ya Pak, udah selalu jawab pertanyaan aku, sesepele apapun itu. Kata orang-orang, dulu aku sukanya nanyaaaaa mulu kayak wartawan, sampe Lik Taron, tetangga kita cuma jawab "hmmmmm...." kalo aku tanya karena udah gatau mau jawab apa lagi. ahahahha
Makasih ya Pak udah mau jadi temen debat aku soal tayangan berita di tv, maafin aku yang kadang pulang kerja atau kuliah langsung masuk kamar, gak nemenin Mama sama Bapak untuk sekedar jadi temen nonton tv. Aku nyesel banget udah buang waktu yang harusnya bisa diluangin untuk kalian.
Makasih ya Pak,
Kalo aku ketiduran dan kebetulan lagi musim nyamuk, Bapak tanpa diminta langsung balurin lotion nyamuk ke seluruh kulit yg terbuka, katanya pas aku tidur dikeroyok nyamuk.
Bapak emang yang yang terbaik....
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sampe akhirnya Bapak jatuh sakit, aku harus nemenin Bapak 24 jam, itu pun di rumah sakit. Bapak juga udah susah untuk sekedar diajak ngobrol karena nafas Bapak yang sesak. Di ranjang IGD Bapak terus minta tolong untuk bangun untuk duduk, tiduran, duduk, tiduran lagi dan seterusnya begitu, entah apa yang waktu itu Bapak sedang rasain. Andai rasa sakit bisa dipindah ke orang lain, aku mau ambil biar Bapak bisa nyaman tidurnya malem itu.
Sampe tengah malem, aku terus nemenin Bapak, dan akhirnya jam 2 kondisi nafas Bapak memburuk, Bapak terlihat sangat sulit bernafas, apalagi diajak ngobrol, dokter kemudian memasang ventilator, dalam proses pemasangan ventilator, Bapak harus dibius total.
Dokter waktu itu bilang, "Mas, mau ngobrol dulu nggak sama Bapak sebelum kita bius total?".
Sepertinya Dokter sudah tau separah apa kondisi Bapak sampai bilang begitu. Akhirnya aku coba ajak ngobrol Bapak yang udah benar-benar lemas dan sulit bernafas, bapak waktu itu lagi berbaring menyamping, aku coba tanya "sesak ya Pak?"
Bapak jawab dengan berbisik sangat pelan "pijitin Bapak...", sambil nunjuk kakinya. Kemudian aku pijitin kaki Bapak yang sudah benar-benar dingin dan pucat. Kemudian aku diminta keluar oleh dokter yang akan segera melakukan proses bius total dan pemasangan ventilator.
Aku cuma tiduran di kursi panjang ruang tunggu depan IGD, tidur sampe adzan subuh, kemudian aku ngecek Bapak sebentar yang benar-benar udah gak sadar, gak bisa diajak ngobrol. Yang bisa ngasih tau kondisi Bapak cuma bedside monitor yang grafiknya naik turun dan bunyinya membosankan itu. Bapak kemudian aku tinggal sholat subuh.
Paginya sekitar jam 7, aku yang lagi duduk di kursi panjang, dipanggil Dokter untuk bicarain kondisi Bapak, waktu itu kondisi Bapak bener-bener udah memburuk, detak jantungnya makin lemah, Dokter bilang batang otak Bapak sudah mati, dan mereka sedang berusaha lakukan yang terbaik.
Aku sempat lihat tim Dokter melakukan CPR ke Bapak, dan gak lama aku diminta keluar ruangan.
Waktu itu aku udah paham dan benar-benar ngerti, kalo kondisi Bapak emang udah tidak tertolong, jadi aku coba telepon mama, dan sodara-sodara untuk ngasih kabar tentang kondisi Bapak.
Sekitar pukul 7.45, ada panggilan untuk keluarga atas nama Bapak, "degggg...", aku udah paham dan coba untuk sabar, aku datengin Bapak yang udah ditutup kain jarik ke seluruh tubuhnya, Bapak udah tutup mata, terlihat tenang.
Aku keluar IGD, coba untuk telepon Mama, kata-kata bener-bener susah keluar, bahkan untuk sekedar bilang ke Mama kalo Bapak udah gak ada, pelan-pelan dan butuh waktu beberapa menit karena dada bener-bener sesak, akhirnya tersampaikan juga dan di ujung telepon terdengar suara tangis, dimana aku juga ikut nangis.
Entah apa yang terjadi di pagi itu, pertama kalinya dada terasa sesesak itu. Air mata yang gak bisa dibendung, makin dipeluk, makin deras pula air mata yang keluar.
Salah satu pintu surga sudah tertutup, yang tersisa cuma penyesalan, kenangan dan untaian do'a.
Sampe akhirnya Bapak jatuh sakit, aku harus nemenin Bapak 24 jam, itu pun di rumah sakit. Bapak juga udah susah untuk sekedar diajak ngobrol karena nafas Bapak yang sesak. Di ranjang IGD Bapak terus minta tolong untuk bangun untuk duduk, tiduran, duduk, tiduran lagi dan seterusnya begitu, entah apa yang waktu itu Bapak sedang rasain. Andai rasa sakit bisa dipindah ke orang lain, aku mau ambil biar Bapak bisa nyaman tidurnya malem itu.
Sampe tengah malem, aku terus nemenin Bapak, dan akhirnya jam 2 kondisi nafas Bapak memburuk, Bapak terlihat sangat sulit bernafas, apalagi diajak ngobrol, dokter kemudian memasang ventilator, dalam proses pemasangan ventilator, Bapak harus dibius total.
Dokter waktu itu bilang, "Mas, mau ngobrol dulu nggak sama Bapak sebelum kita bius total?".
Sepertinya Dokter sudah tau separah apa kondisi Bapak sampai bilang begitu. Akhirnya aku coba ajak ngobrol Bapak yang udah benar-benar lemas dan sulit bernafas, bapak waktu itu lagi berbaring menyamping, aku coba tanya "sesak ya Pak?"
Bapak jawab dengan berbisik sangat pelan "pijitin Bapak...", sambil nunjuk kakinya. Kemudian aku pijitin kaki Bapak yang sudah benar-benar dingin dan pucat. Kemudian aku diminta keluar oleh dokter yang akan segera melakukan proses bius total dan pemasangan ventilator.
Aku cuma tiduran di kursi panjang ruang tunggu depan IGD, tidur sampe adzan subuh, kemudian aku ngecek Bapak sebentar yang benar-benar udah gak sadar, gak bisa diajak ngobrol. Yang bisa ngasih tau kondisi Bapak cuma bedside monitor yang grafiknya naik turun dan bunyinya membosankan itu. Bapak kemudian aku tinggal sholat subuh.
Paginya sekitar jam 7, aku yang lagi duduk di kursi panjang, dipanggil Dokter untuk bicarain kondisi Bapak, waktu itu kondisi Bapak bener-bener udah memburuk, detak jantungnya makin lemah, Dokter bilang batang otak Bapak sudah mati, dan mereka sedang berusaha lakukan yang terbaik.
Aku sempat lihat tim Dokter melakukan CPR ke Bapak, dan gak lama aku diminta keluar ruangan.
Waktu itu aku udah paham dan benar-benar ngerti, kalo kondisi Bapak emang udah tidak tertolong, jadi aku coba telepon mama, dan sodara-sodara untuk ngasih kabar tentang kondisi Bapak.
Sekitar pukul 7.45, ada panggilan untuk keluarga atas nama Bapak, "degggg...", aku udah paham dan coba untuk sabar, aku datengin Bapak yang udah ditutup kain jarik ke seluruh tubuhnya, Bapak udah tutup mata, terlihat tenang.
Aku keluar IGD, coba untuk telepon Mama, kata-kata bener-bener susah keluar, bahkan untuk sekedar bilang ke Mama kalo Bapak udah gak ada, pelan-pelan dan butuh waktu beberapa menit karena dada bener-bener sesak, akhirnya tersampaikan juga dan di ujung telepon terdengar suara tangis, dimana aku juga ikut nangis.
Entah apa yang terjadi di pagi itu, pertama kalinya dada terasa sesesak itu. Air mata yang gak bisa dibendung, makin dipeluk, makin deras pula air mata yang keluar.
Salah satu pintu surga sudah tertutup, yang tersisa cuma penyesalan, kenangan dan untaian do'a.
Pak,
Apa di bawah sana gelap, sempit dan juga dingin?
Semoga do'a-do'a yang setiap hari kami sampaikan ke Allah diperkenankanNya ya Pak.
Semoga Allah memuliakan Bapak dengan tempat yang lapang, terang, nyaman lagi penuh dengan curahan kasih sayang dariNya.
Semoga kita kelak dipertemukan kembali di sana dalam keadaan baik dan mendapat kemualiaan dari Allah. Aamiin
Pak,
Terima kasih sudah mengajarkan tentang harga diri dan perjuangan,
tentang kemana hidup ini akan dibawa,
tentang kepada siapa kita bergantung, berharap, dan memohon,
tentang pentingnya tanggung jawab sebagai seorang lelaki,
Pak,
Terima kasih untuk semuanya, dari adzan pertama yang telinga ini dengar, hingga bisikan terakhir yang akan terus dikenang.
“Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira“.
“Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira“.